This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Ustadz Bodoh] Sepenggal Kisah Biru di Pesantren

fenifuah.blogspot.com - Sepenggal Kisah Biru di Pesantren

Sepenggal Kisah Biru di Pesantren
Selama ni dunia pesantren dikenal sangat lekat dgn nuansa agama. Setiap pagi, siang, sore hingga malam hari kegiatan-kegiatan yg diajarkan di pesantren selalu berkaitan dgn (pendalaman) agama. Ngaji, tadarus, shalat berjamaah adlh beberapa kegiatan rutin di dalamnya.
Namun, siapa yg mengira di balik kentalnya nuansa agama yg ada di pesantren ternyata menyimpan cerita-cerita miris yg sangat bertentangan dgn (doktrin) agama? Buku dgn judul Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren yg ditulis oleh Syarifuddin ni mengungkap secara transparan perilaku-perilaku menyimpang di dunia pesantren, terutama yg berkaitan dgn penyimpangan seksual santri.
Ibarat lokalisasi, pesantren sering dijadikan tempat untk menyalurkan hasrat libido santri pd santri lain. Bedanya, kalau di lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan umumnya dilakukan di tengah malam ketika korban sedang tertidur lelap.

Yang lebih mencengangkan, praktik seperti ni dilakukan antarsesama jenis kelamin (laki-laki dgn laki-laki / perempuan dgn perempuan). Seks antarsesama jenis kelamin inilah yg menjadi titik tekan buku ini. Di pesantren budaya ni bukanlah hal yg tabu, bahkan sudah mentradisi secara turun-temurun hingga kini. Sehingga sukar menghilangkan budaya itu karena sang pelaku dlm menjalankan aksinya sangat rapi, di luar pengetahuan orang lain.
Jangankan orang lain, kadang yg menjadi korban sendiri tak menyadari kalau dirinya pernah dijadikan pelampiasan nafsu seks orang lain. Biasanya korban baru menyadari kalau dirinya telah menjadi pelampiasan seksual orang lain ketika bangun tidur. Karena hubungan seks ala pesantren bukan didasarkan suka sama suka tetapi secara sembunyi-sembunyi, ketika korban sudah terlelap.
Budaya itu kemudian dikenal dgn istilah nyempet dan mairil. Menurut penulis, nyempet merupakan jenis / aktivitas pelampiasan seksual dgn kelamin sejenis yg dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yg sejenis (hlm. 25).
Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Tapi dlm banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dlm hubungan seksual satu jenis kelamin.
Kondisi sosiologis dunia pesantren dgn pembinaan moral dan akhlak secara otomatis interaksi antara santri putra dan putri begitu ketat. Keseharian santri dlm komunitas sejenis, mulai bangun tidur, belajar, hingga tidur kembali. Santri bisa bertemu dgn orang lain jenis ketika sedang mendapat tamu. Itu pun jika masih ada hubungan keluarga.
Praktis, ketika ada di pesantren -terutama pesantren salaf (tradisional)- tak ada kesempatan untk bertemu dan bertutur sapa dgn santri beda kelamin.
Di samping tempat asrama putra dan putri berbeda, hukuman yg harus dijalankan begitu berat, bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren, jika ada santri putra dan putri ketahuan bersama. Kondisi seperti inilah yg menyebabkan perilaku nyempet di kalangan santri di pesantren begitu marak (hlm. 31).
Perilaku nyempet dan mairil biasnya dilakukan oleh santri tua (senior), tak jarang pula para pengurus / guru muda yg belum menikah. Dari hasil penelitian penulis, kegiatan nyempet hanya terjadi ketika masih menetap di pesantren tetapi ketika sudah lulus dari pesantren budaya seperti itu ditinggalkan.
Terbukti, kehidupan mereka normal dan tak ditemukan kasus mereka menjadi homo / lesbi. Mereka semua berkeluarga dan mempunyai anak. Karena orang yg melakukan itu hanya iseng bukan tergolong homoseksual (bagi kaum laki-laki) / lesbian (bagi kaum wanita). Mereka melakukan penyimpangan seks itu sekadar menyalurkan libido seksualnya yg memuncak.
Umumnya yg menjadi korban nyempet dan mairil adlh santri yg memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face. Hampir pasti santri (baru) yg memiliki wajah baby face selalu menjadi incaran dan rebutan santri-santri senior. Bahkan tak jarang antara santri yg satu dan santri yg lain terlibat saling jotos, adu mulut, bertengkar (konflik) untk mendapatkannya.
Di pesantren berlaku hukum tak tertulis yg harus dijalankan bagi orang yg memiliki mairil. Misalnya jika si A sudah menjadi mairil orang, maka si mairil tersebut akan dimanja, diperhatikan, diberi uang jajan, uang makan, dicucikan pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih (pacaran). Jika si mairil dekat dgn orang lain pasti orang yg merasa memiliki si mairil tersebut akan cemburu berat.
Kelebihan buku ni adlh penulis mampu menceritakan pelaku nyempet dan mairil dlm suasana santai, kocak, tetapi serius. Gaya penulisanya bertutur hampir menyerupai novel. Misalnya ketika penulis menceritakan tentang santri bernama Subadar yg akan nyempet santri lain.
Di beranda joglo masjid tanpa penerangan lampu, Subadar sambil berpura-pura tidur, terus merangsek mendekati santri yg masih kecil yg beberapa hari terakhir menjadi incarannya. Harus bisa, gumam Subadar dlm hati.
Tapi naas nasibnya kali ini, baru saja mulai angkat sarung korban, tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan petugas piket yg seketika itu membuat Subadar terkejut bukan kepalang...
Penulis buku ni tentu paham betul tentang budaya nyempet dan mairil yg ada di pesantren. Karena dia jg pernah mengenyam pendidikan di pesantren Wonorejo dan Jombang, Jawa Timur.
Boleh dikatakan buku ni adlh hasil temuannya langsung saat dia hidup di dunia pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya. Membaca buku ni kita akan terkejut dan mengernyitkan dahi, Ah yg bener aja.
Meski peristiwa yg diceritakan dlm buku ni lebih mengandalkan inprovisasi penulis, pembaca bisa melacak sendiri bahwa peristiwa seperti ni dlm dunia pesantren, terutama saat malam menjelang, benar adanya. Atau boleh jadi mereka yg pernah dibesarkan di pesantren akan tersenyum kecut / mengakui dan menyangkal peristiwa kebenaran cerita ini. (Ditulis oleh Zamaahsari A. Ramzah, mahasiswa FISIPOL, Universitas Muhammdiyah Yogyakarta, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

0 Response to "[Ustadz Bodoh] Sepenggal Kisah Biru di Pesantren"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *