fenifuah.blogspot.com - Alkisah di sebuah kampung antah berantah, air sangat sulit ditemukan. Kampung sulit air itu, kebanyakan penduduknya orang baik, tetapi dikuasai oleh para pemabuk yg suka minum khamr. Mereka mendatangkan berpeti-peti khamr dari dari negeri yg jauh untk memenuhi rasa haus sekaligus hobi mabuknya.
Orang-orang baik berusaha tetap minum air. Mereka menggali sumur-sumur yg dlm tapi tetap gagal memperoleh air. Mereka hanya bertahan hidup dgn menampung embun di dedaunan / menampung air hujan yg sangat jarang turun. Tentu sangat minim, air yg mereka dapatkan hanya sekedar untk bertahan hidup.
Para pemabuk yg berkuasa di kampung itu mengatur adat di sana dgn aturan mereka. Mirip Jenghiz Khan yg harus kesurupan dan setengah sadar sebelum menulis undang-undang, para pemabuk harus pesta anggur beramai-ramai sampai teler sebelum menyusun aturan kampung.
Ritual teler bersama itu disakralkan. Saking sucinya ritual itu sampai-sampai mereka mengutip ujar latin in vino veritas, artinya dlm (mabuk) anggur itu terdapat kebenaran. Beberapa pemabuk sejati bahkan membuat pepatah baru yg lebih gila, vox madidus vox dei, suara pemabuk adlh suara tuhan.
Para pemabuk pertama kali berkuasa di kampung dgn menipu orang-orang baik. Mereka mengajak orang baik bersama-sama membuat sumber adat dan pemimpin kampung haruslah orang baik-baik.
Namun, hanya sehari setelahnya, mereka mendatangkan pemabuk paling licik yg tinggal di ujung timur kampung. Pemabuk licik itu mengancam, kalau pasal tentang kebaikan dan kepemimpinan orang baik tak dihapus, ia akan menjadi separatis, tak mau bergabung dgn lakita hapus pasal itu, toh hanya tujuh kata saja. Yang penting ujung timur kampung tak sampai lepas, persatuan harus kita dahulukan.
Salah satu orang baik bersikukuh tak mau mengubah kesepakatan itu. Baginya itu gentlemen agreement yg tak boleh seenaknya dicabut. Tapi para pemabuk melobi dia melalui kerabatnya. Dengan janji kelak pasal kebaikan akan dicantumkan lagi setelah pemabuk licik tenang, akhirnya orang baik itu setuju tujuh kata bahwa kebaikan berlaku di kampung itu dihapus.
Setelah itu para pemabuk ingkar janji. Mereka berkuasa di kampung dan tak mengindahkan kebaikan. Tak cukup sekedar itu, mereka mulai menghalangi orang baik melakukan kebaikan. Mereka tak puas sebelum semua orang jadisuka mabuk.
Minum Sosial
Orang-orang baik di kampung sulit air ada beberapa golongan. Ada yg teguh pendirian, tak mau mabuk / bahkan sekedr menyentuh khamr. Tapi ada jg yg sesekali mau ikut minum anggur, mereka berkilah bahwa mereka drink socially, minum sedikit untk menghormati kalangan yg suka mabuk. Toh tak sampai mabuk.
Setelah dua generasi, golongan drink socially mulai menjadi pemabuk. Tapi mereka masih mengaku sebagai orang baik-baik. Meski ayah dan kakek mereka tak pernah minum sampai mabuk, mereka dgn bangga menenggak wine / wiski dan mengutip pepatah latin in vino veritas.
Lalu datanglah saatnya pesta oplosan, momen terbesar dlm ritual para pemabuk. Kini para pemabuk tak perlu menipu / memaksa orang-orang baik untk minum. Anak-anak mereka yg telah menjadi pemabuk menjalankan tugas itu.
Tengoklah Moderatio, ia anak orang baik-baik dan terdidik hingga bangku tertinggi sekolah kebaikan. Tapi ia belajar minum sedikit-sedikit hingga ia akhirnya jadi pemabuk berat. Ia mencela mereka yg tak mau minum meski hanya untk menghormati pesta oplosan. Nego bibo actio diaboli, katanya. Menolak minum adlh perbuatan setan.
Mabuk Perjuangan
Lalu ada jg generasi yg lebih muda, terdidik jg meski tak setinggi Moderatio, namanya Scio Tutus. Tutus mengatakan bahwa mereka yg peduli pd kesejahteraan kampung hanyalah yg minum. Membantah seorang baik-baik yg mengingatkan kejadian di masa lalu bahwa para pemabuk selalu mengingkari janji dan siap menggusur orang baik yg memimpin, Tutus berkata:
Nego bibo merus custodis, orang yg tak minum hanya jadi penonton. padahal kampung butuh pemimpin yg aktif terlibat dlm mengatur adat. ikut minum dlm pesta oplosan adlh jalan terbaik untk berusaha merebut kepemimpinan dan mengisi kampung dgn kebaikan.
Buat Tutus dan kawan-kawannya, mereka minum khamr dgn niat baik. Demi perjuangan mengembalikan kampung sulit air ke pangkuan orang baik. Ketika dikritik mengapa minum sampai mabuk, mereka berkilah bahwa itulah mabuk perjuangan.
Maka anak-anak muda yg baik menjadi bingung. Di satu sisi ada kesadaran bahwa minum itu haram, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran kalau tak ikut minum maka kampung hanya diatu oleh para pemabuk.
Dalam situasi yg membingungkan itu, banyak anak muda baik yg tadinya tak mau minum jadi tergoda. Mereka khawatir kena dosa membiarkan kampung dikuasai pemabuk. Agar orang baik bisa turut memimpin, maka mereka berkorban dgn minum sedikit. Tak apalah minum sekali, yg penting bisa membendung kekuasaan para pemabuk.
Mereka lupa bahwa para pemabuk pun memulainya dgn minum sedikit. Sececapan lidah sekedar mencicipi. Berlanjut seteguk lalu meningkat sesloki hingga akhirnya sebotol dan bergelimang khamr dlm hidupnya.
Pesta oplosan berlangsung dua putaran. Putaran pertama untk memilih para tetua kampung. Para tetua itu yg akan merumuskan adat dan aturan bersama. Tentu saja dlm majelis yg dijiwai semangat mabuk dan anggur. Sebagian orang baik yg ikut dicalonkan jadi tetua rela minum sedikit untk mewarnai majelis itu.
Putaran kedua adlh memilih Raja Mabuk. Sesuai namanya, dialah yg akan memimpin dan menentukan arah pembangunan kampung di masa depan. Para pemabuk ingin raja yg baru adlh pemabuk paling top yg paling kuat minum. Sementara orang baik yg minum sedikit ingin agar pemabuk paling waras yg memimpin.
Pada pesta oplosan yg lalu-lalu, pernah terpilih pemabuk tulen yg darahnya semerah anggur merah. Tapi dlm oplosan terakhir, yg terpilih adlh pemabuk yg paling kompromis, bisa mabuk berat di kalangan pemabuk, tapi bisa jg minum air di tengah-tengah orang baik.
Lalu, bisakah orang baik yg ikut mabuk merebut kekuasaan dlm majelis mabuk? Berkali-kali mereka mencoba tapi selalu gagal. Sebabnya sederhana, setelah ikut minum mereka jadi teler dan kalah bersaing dgn para pemabuk sejati. Ironis tapi mereka tak pernah kapok.
Kisah di atas mungkin terdengar asing dan aneh. Mana ada kampung sekonyol itu. Tapi cobalah air dgn kekuasaan, khamr dgn demokrasi, pemabuk dgn politisi sekuler dan orang baik dgn umat Islam. Tentu kisah ni akan menemukan relevansinya dlm realita kekinian.*
*dicopy dari majalah an-Najah edisi 102, hal. 62.
other source : http://hipwee.com, http://tempo.co, http://yuukiqueen.blogspot.com
0 Response to "Pesta Oplosan di Kampung Pemabuk - Fiksi"
Post a Comment