Akhir-akhir ni Indonesia disibukkan dgn kontroversi pilihan menteri oleh Presiden Jokowi. Namanya kontroversi, pasti ada yg pro dan kontra. Saya pribadi memilih mengamati dan tak hendak memperkeruh kondisi negeri. Tapi bukan berarti saya tak mempunyai sikap sendiri berkaitan dgn hal ini.
Di antara kontroversi tersebut, bukan sosok menterinya yg menurut saya menarik untk dibahas. Sikap masyarakat kita yg katanya mayoritas muslim inilah yg layak untk dicermati. Betapa mudah kita melontarkan kata-kata menghina meskipun taruhlah perbuatan itu salah. Belum lagi membawa-bawa nama Islam yg sebetulnya dlm hal ni sekadar menjadi kambing hitam. Hanya karena ada pejabat yg memakai hijab dan korup, kemudian dijadikan contoh buruk dan dibandingkan dgn yg tak berhijab tapi tak korup.
Di antara kontroversi tersebut, bukan sosok menterinya yg menurut saya menarik untk dibahas. Sikap masyarakat kita yg katanya mayoritas muslim inilah yg layak untk dicermati. Betapa mudah kita melontarkan kata-kata menghina meskipun taruhlah perbuatan itu salah. Belum lagi membawa-bawa nama Islam yg sebetulnya dlm hal ni sekadar menjadi kambing hitam. Hanya karena ada pejabat yg memakai hijab dan korup, kemudian dijadikan contoh buruk dan dibandingkan dgn yg tak berhijab tapi tak korup.
Perbandingan yg sangat tak adil dlm hal ni sangat terlihat. Hidup itu bukan seperti ujian dgn pilihan ganda, apalagi yg diberikan pilihannya cuma dua dan bisa jadi salah semua. Toh, dlm ujian sendiri, bentuk tes yg bagus adlh yg bersifat terbuka / essay. Dari sini saja logika contoh / perbandingan ni sudah tak logis
Inilah masyarakat kita, sangat suka membandingkan sesuatu yg tak sebanding / tak bisa dibandingkan. Apalagi ketika yg dibandingkan dgn pembandingnya sama-sama tak bisa diambil sebagai pilihan yg baik. Maka, sesungguhnya dlm hal ni kita memunyai standar baku sebagai seorang muslim. Sudah, ukur saja segala sesuatunya dgn standar Islam: Qur’an dan hadits.
Masalahnya, bagaimana Qur’an dan hadits akan dipakai sebagai standar bila akar dan pondasinya saja tak memakai Islam? Nah, di sinilah tak adilnya kita ketika pondasi tak memakai Islam tapi bila ada buruknya bangunan maka Islam yg disalahkan. Sama tak adilnya ketika banyak sekali yg mengatakan bahwa kita tak boleh menghakimi / ‘menjudge’ seseorang dari penampilannya saja. Tapi lupakah kita bahwa mereka yg memakai hijab lebar bahkan cadar, berjenggot dan bercelana cingkrang sering sekali mengalami diskriminasi hanya karena penampilan?
Mulai dari julukan teroris, tak sesuai dgn budaya Indonesia (budaya yg mana?), udik, kuno, hingga disuruh pindah ke Arab, semua lengkap ditudingkan ke orang-orang yg berusaha menjalankan Islam kaafah. Pernahkah ada pembelaan bagi mereka ni dgn kata-kata ‘yang penting kinerjanya?’ Jangankan kinerja, sedangkan kesempatan pertama saja tak pernah diberikan. Betapa banyak saudara-saudara muslim kita yg ditolak bekerja dan berprestasi hanya karena belum apa-apa dicurigai. Lalu, siapa yg membela mereka ini?
Mereka dinilai, dihakimi dan ‘dijudge’ dari penampilan semata. Tetapi hal ni menjadi tak berlaku ketika ada kritik diberikan untk pejabat negara. Sebutan ‘haters’ menjadi sangat sering dihadiahkan bagi mereka yg berusaha untk memberi masukan kepada pemimpin negeri. Di sini kita belum membincangkan kinerja karena memang porsinya belum sampai ke sana.
Saya pribadi tak berniat untk berbicara buruk tentang mereka yg mungkin saja perilakunya tak elok. Karena sifat manusia itu dinamis. Hari ni ia berbuat salah, esok hari bisa saja ia menjadi orang yg salih. Begitu jg kebalikannya. Jadi alangkah indahnya bila kritik yg ada itu disampaikan dgn cara elegan dan kata-kata yg santun. Begitu jg dgn yg dikritik maupun pihak pendukungnya, bisa menerima kritik dgn lapang dada dan tak memandang pihak pemberi kritik sebagai musuh. Karena terbuka peluang Bu Menteri akan menjadi sosok muslimah yg baik tanpa rokok dan tattonya. Insya Allah.
Di bawah ni sebagai renungan tentang kondisi kita saat ni sebagaimana diisyaratkan oleh Sayidina Ali bin Abu Thalib r.a.
"Aku kawatir terhadap suatu masa yg rodanya dpt menggilas keimanan
Keyakinan hanya tinggal pemikiran, yg tak berbekas dlm perbuatan.
Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman.
Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yg khusyuk tapi sibuk dlm kesendirian.
Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat, rendah hati bagaikan sufi.
Ada yg banyak tertawa hingga hatinya berkarat. Ada yg banyak menangis karena kufur nikmat.
Ada yg murah senyum tapi hatinya mengumpat. Ada yg berhati tulus tapi wajahnya cemberut.
Ada yg berlisan bijak tapi tak memberi teladan. Ada pezina yg tampil jadi figur.
Ada orang punya ilmu tapi tak paham. Ada yg paham tapi tak menjalankan.
Ada yg pintar tapi membodohi. Ada yg bodoh tapi tak tau diri.
Ada orang beragama tapi tak berakhlak. Ada yg berakhlak tapi tdk ber-Tuhan.
Lalu, di antara semua itu, dimana aku berada?"
Keyakinan hanya tinggal pemikiran, yg tak berbekas dlm perbuatan.
Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman.
Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yg khusyuk tapi sibuk dlm kesendirian.
Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat, rendah hati bagaikan sufi.
Ada yg banyak tertawa hingga hatinya berkarat. Ada yg banyak menangis karena kufur nikmat.
Ada yg murah senyum tapi hatinya mengumpat. Ada yg berhati tulus tapi wajahnya cemberut.
Ada yg berlisan bijak tapi tak memberi teladan. Ada pezina yg tampil jadi figur.
Ada orang punya ilmu tapi tak paham. Ada yg paham tapi tak menjalankan.
Ada yg pintar tapi membodohi. Ada yg bodoh tapi tak tau diri.
Ada orang beragama tapi tak berakhlak. Ada yg berakhlak tapi tdk ber-Tuhan.
Lalu, di antara semua itu, dimana aku berada?"
(Ali bin Abi Thalib)
Sumber: kaskus

0 Response to "[Islam Menjawab] Antara Bu Menteri Bertato, Ukhti Jilbab Bercadar, dan Muslim Berjenggot"
Post a Comment